JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Fahri Hamzah mengatakan apa yang disebut sebagai penyelamatan keuangan negara hanyalah klaim sepihak KPK karena tidak pernah diaudit oleh BPK sebagai lembaga kerugian negara.
"Pernyataan-pernyataan KPK mengenai penyelamatan keuangan negara dalam kasus-kasus korupsi yang ditanganinya tidak terklarifikasi dan berdasarkan aturan dan hukum yang berlaku," ujar Fahri Hamzah ketika dihubungi wartawan, Minggu (29/9/2013).
Fahri mengatakan, menurut laporan BPK kepada BAKN mereka belum pernah melakukan audit terhadap barang-barang yang disita oleh KPK. KPK belum pernah melaporkan hal itu. Darimana KPK bisa mengumumkan berhasil menyelamatkan keuangan negara dengan besaran tertentu, padahal untuk menentukan hal itu barang-barang sitaan harus diaudit terlebih dahulu baru kemudian disetorkan ke kas negara.
Menurutnya, yang terjadi saat ini barang-barang yang disita disetor ke kas negara tanpa proses audit. Dengan demikian maka proses pengembalian barang-barang sitaan tersebut juga rawan diselewengkan.
”Sekarang ini kan dirampas dulu tanpa proses audit. Dengan proses seperti ini maka bisa saja yang dirampas 100, tapi yang disetor hanya 5. Sebenarnya ini tidak boleh dilakukan. BPK sampai saat ini juga tidak tahu di mana KPK menyimpan barang-barang sitaan. Ini bisa terjadi karena KPK tidak ada yang mengawasi,” ujarnya.
Menurut Fahri maka tidak heran permintaan DPR kepada BPK terkait audit terhadap KPK sampai sekarang belum pernah masuk ke DPR. BPK juga nampaknya takut untuk melakukan audit terhadap KPK.
”Padahal kita sudah meminta sejak lama kepada BPK tapi sampai saat ini laporan terkait audit kinerja BPK di KPK tidak juga masuk sampai saat ini, ada kesan mereka saling sandera juga," katanya.
Fahri menambahkan bahwa berdasarkan hasil pertemuan dengan para mantan penyidik KPK beberapa waktu lalu, kantor KPK itu seperti kantor redaksi di media massa. Penetapan seseorang sebagai tersangka sama seperti penetapan judul apa tema apa yang akan dijadikan headline oleh media.
“Menentukan status tersangka terhadap seseorang tak beda dengan penentuan judul headline di media. Seseorang memutuskan bahwa si A harus jadi tersangka seperti keputusan pemimpin di media massa. Ini membuat penetapan status tersangka menjadi kacau,” katanya.
Menurut anggota alat kelengkapan DPR yang khusus mensupervisi BPK ini, sekarang BAKN secara khusus sedang meminta BPK untuk mengaudit seluruh aset sita sebab laporan sementara banyak yang menunjukkan kesalahan, pengabaian bahkan sampai aset yang awalnya diklaim tersita lalu hilang begitu saja.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan prinsip hukum uang yang masuk kas negara harus teraudit dahulu. Jika uang tersebut langsung dimasukkan tanpa proses audit oleh BPK, maka uang tersebut bukanlah uang negara dan tidak bisa dimasukkan dalam kas negara.
“Kalau sudah diaudit BPK baru bisa sah dimasukkan masuk kas negara sebagai hasil audit pengembalian uang negara yang kembali ke negara. Jadi memang tidak bisa diklaim begitu saja tanpa audit. Karena kalau tidak bisa saja, KPK mengatakan menyelamatkan uang negara sekian ratus miliar, tapi sebenarnya yang diselamatkan triliunan. Makanya harus dipastikan teraudit,” ujar Asep ketika dihubungi Minggu.
Asep mengatakan, aset dari hasil sitaan juga harus jelas disimpannya di mana, digunakan untuk apa dan bagaimana menyimpannya.
Asep juga mengingatkan kepada pimpinan KPK untuk benar-benar membersihkan hal atau sistem yang tidak benar di internal mereka. ”Dulu ketika kepolisian dan kejaksaan dianggap korup, maka dibuatlah KPK. KPK dianggap sebagai sapu yang bersih. Sekarang kalau ternyata sapu ini kotor juga, maka tidak mungkin digunakan untuk bersih-bersih. Sapu ini harus bersih-bersih dulu. KPK harus mencontohkan bahwa mereka menegakkan sistem dan aturan perundangan dengan benar,” kata Asep. [TribunNews]
0 comments:
Posting Komentar