Tiga stasiun televisi milik MNC Group terindikasi melakukan pelanggaran etika dalam kegiatan penggalangan dana publik. Sebanyak 50-80% siaran penyaluran bantuan di RCTI, Global TV, dan MNC TV mengabaikan peran publik dengan tidak menyebut bantuan bagi korban banjir sebagai sumbangan pemirsa. Pada siaran yang memberitakan penyaluran bantuan, pemilik MNC Group, Harry Tanoesoedibjo, muncul sebanyak 90-100%. Hal lain yang jadi masalah etika adalah, adanya pencampuradukkan akun rekening bank, seperti yang tampak pada program Beasiswa Obsesi di Global TV, di mana yang digunakan adalah rekening Global TV Peduli. Atau di MNC TV, di mana program MNC TV Peduli memiliki dua rekening bank dengan dua nama kepemilikan rekening yang berbeda.
Fakta di atas didapati dari penelitian yang dilakukan Remotivi, sebuah lembaga inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi. Penelitian yang mengambil sampel data dalam kurun waktu 18-31 Januari 2013 ini mencatat bahwa ketiga media milik MNC Group ini memiliki frekuensi kemunculan program filantropi paling tinggi. Dengan menghitung tiap spot kemunculan siaran ajakan menyumbang dan penyaluran bantuan, tercatat MNC TV menyiarkan sebanyak 72 spot, RCTI 67spot, Global TV 20 spot, disusul oleh TV One (17), Indosiar (13), SCTV (11), Trans 7 (11), dan ANTV (2). Sedangkan Metro TV dan Trans TV memegang teguh peran media sebagai “anjing penjaga” dengan tidak ikut melakukan praktik filantropi.
Kemunculan lembaga bernama Harry Tanoesoedibjo Foundation (HT Foundation) pada periode banjir Jakarta di awal tahun ini, dicatat oleh penelitian ini sebagai sebuah anomali yang menerbitkan banyak pertanyaan. Pasalnya, lewat tayangan berita Seputar Indonesia Pagi (RCTI), Harry Tanoe mengumumkan bahwa dana HT Foundation adalah dananya pribadi yang berbeda dengan program MNC TV Peduli, RCTI Peduli, dan Global TV Peduli. Tapi anehnya, logo program filantropi ketiga perusahaan televisi tersebut pernah muncul dalam satu pemberitaan di RCTI—yang kemudian lenyap pada pemberitaan selanjutnya—sehingga mengesankan adanya hubungan antarlembaga tersebut.
Hal ini tambah membingungkan, karena di Global TV dan MNC TV, narasi pemberitaannya mengatakan hal yang sebaliknya, bahkan mengesankan bahwa HT Foundation punya hubungan erat dengan media-media milik MNC Group dalam hal pengelolaan bantuan bencana: “MNC Group melalui HT Foundation mengirim bantuan untuk korban banjir”, “HT Foundation juga menerima dana bantuan dari masyarakat untuk disalurkan”, atau “Bantuan dari Global TV Peduli dan HT Foundation ini dananya berasal dari masyarakat”.
Tak pelak, penelitian berjudul “Ketika Televisi Peduli: Potret Dilematis Filantropi Media” yang ditulis oleh Muhamad Heychael dan Roy Thaniago ini mencecar hal tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan, “Benarkah dana HT Foundation hanya berasal dari kocek pribadi Hary Tanoe, seperti yang dikatakan olehnya? Tapi mengapa informasi tersebut bertolakbelakang, seperti yang tersiar melalui Global TV dan MNC TV? Dan kalau benar itu merupakan dana pribadi Hary Tanoe, mengapa dana tersebut tidak ia sumbangkan saja melalui serangkaian kegiatan filantropi milik MNC Group, seperti halnya pemirsa lain yang menyumbang?”
Keanehan lain yang dicatat dalam penelitian ini adalah “ucapan terima kasih” penerima sumbangan. Lewat tayangan Dahsyat, Menuju Dahsyatnya Awards, dan Dahsyatnya Awards, RCTI Peduli mengabarkan kegiatan penyaluran sumbangannya yang diserahkan melalui anggota TNI. Yang menimbulkan pertanyaan adalah, adanya kesamaan ucapan terima kasih dari beberapa personil TNI di beberapa wilayah berbeda yang menjadi perwakilan penerima sumbangan: “Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Harry Tanoesoedibjo selaku CEO MNC Group dan Direktur Utama RCTI Peduli yang telah menggagas dan menyerahkan bantuan kepada para korban banjir. Dan kami ketahui, bahwasanya bantuan ini tidak hanya diserahkan di lokasi ini saja, tetapi juga di beberapa lokasi lainnya dan sangat membantu para korban banjir”. Selain terkesan diskenariokan, Remotivi menilai ucapan tersebut lebih menekankan peran kedermawanan Harry Tanoe ketimbang pemirsa yang menyumbang.
Secara umum, di luar media milik MNC Group, praktik filantropi televisi memiliki problem etis yang berpotensi menggerus makna ideal media massa. Detail-detail teknis yang terabaikan menjadi salah satu muara yang mengindikasikan jamaknya pengabaian terhadap etika. Dalam praktik filantropinya, banyak stasiun televisi yang berkecenderungan kurang memberikan penghargaan kepada pemirsa dengan tidak menyebut pemirsa sebagai donatur. Absennya peran pemirsa digantikan dengan penonjolan citra perusahaan, yang ditunjukkan melalui munculnya petinggi atau pemiliik media ketika menyalurkan sumbangan, meski berada di luar struktur lembaga pengelola sumbangan. Televisi juga tidak menunjukkan adanya upaya transparansi dengan menyiarkan laporan keuangan secara jelas dan berkala. Selain itu, adanya kecenderungan televisi untuk lebih emotif ketimbang informatif dalam melaksanakan praktik filantropi. Hal ini terlihat dari tiadanya tujuan dan keterangan yang mampu menjelaskan secara baik mengenai program penggalangan dana yang ditawarkan.
Remotivi menilai bahwa idealnya media semestinya setia pada tugas normatifnya sebagai anjing penjaga dan pengawal kebutuhan informasi publik. Sebab, ketika media tak lagi menjadi sebatas pengabar, tetapi juga terlibat sebagai pelaku, di situlah kemudian muncul dilema: mampukah media tetap menjadi pengawas yang objektif dan independen bagi proses penggalangan dana sambil di saat bersamaan mereka juga pelaku filantropi? Dengan ikut dalam upaya filantropi, media berpotensi memandulkan perannya sebagai pengawas yang independen bagi publik.
Keprihatinan media kepada mereka yang tertimpa bencana sesunguhnya masih bisa ditunjukkan dengan memberikan informasi kepada publik, mengenai lembaga-lembaga mana saja yang bisa menyalurkan bantuan. Dengan kata lain, media cukup menjadi jembatan bagi publik yang ingin menyumbang dengan kelompok publik yang mengelola sumbangan, tanpa perlu terlibat dalam kegiatan filantropi secara langsung. Namun bagi media yang sudah atau sedang mengelola dana publik, Kode Etik Filantropi Media Massa keluaran Dewan Pers seyogianya bisa digunakan sebagai acuan minimal.
Melalui siaran pers ini, Remotivi mengimbau kepada publik untuk selalu bersikap kritis terhadap media massa yang memiliki program penggalangan sumbangan. Jika memungkinkan, publik lebih baik mengalihkan donasinya melalui lembaga filantropi profesional. Pihak regulator pun diperlukan sikap dan tindakannya sebagai wasit yang adil dan tegas dalam praktik bermedia di Indonesia.
Menengok kembali hal-hal di atas, maka sudah seharusnya perusahaan media melampaui hal-hal etis guna menghindari persepsi publik yang tergiring pada dugaan adanya indikasi penyelewengan di tubuh media. Tentu ini merupakan dugaan yang sangat prematur dan perlu diverifikasi berulangkali kebenarannya. Namun kalau dugaan ini benar, berarti ada dua jenis penyelewengan yang dilakukan media: uang dan kepercayaan publik.
Keterangan lebih jauh mengenai penelitian Remotivi ini bisa dengan mengunduh laporannya di sini.
Sumber: remotivi.or.id
0 comments:
Posting Komentar