oleh: Abdulrahman Al-Rashed
UCAPAN koreksi dari ulama besar Sunni, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi merupakan sebuah perkembangan penting. Pekan lalu, Syeikh Al-Qaradhawi berdiri dan berkata, “Selama bertahun-tahun saya menyerukan agar doktrin-doktrin Islam bisa bersatu. Saya pergi ke Iran saat masa pemerintahan mantan Presiden Iran, Mohammad Khatami. Namun mereka ternyata menipu saya dan banyak orang lainnya seperti saya. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka juga ingin menyatukan doktrin-doktrin yang berbeda.”
Syeikh Al-Qaradhawi mengakui kesalahannya dengan mengatakan, “Saya dulu membela Hasan Nasrallah (pemimpin Hizbullah) dan partainya, partai tirani di depan para ulama Arab Saudi. Tampaknya para ulama Arab Saudi ini lebih dewasa dibandingkan saya.”
Akui Kesalahan
Pengakuan publik dan jujur Qaradawi adalah momentum penting. Ia mengakui dirinya keliru atas semua yang pernah diasumsikannya dan membela Hizbullah serta mengkritik orang lain. Syeikh Al-Qaradhawi berasumsi perjuangan yang telah berlangsung selama 20 tahun terakhir ini didasarkan pada konsep membangun sebuah pemerintahan Islam, partai dan tokoh. Rencana ini dibangun di atas kebohongan besar dan mitos.
Keberanian Syeikh Qaradhawi ini layak diapresiasi karena ia mungkin hanya satu-satunya orang yang mengakui kesalahannya. Padahal dia bisa saja membenarkan sikapnya, namun ia memilih untuk berbicara di depan para pengikutnya dan mengakui kesalahannya.
Syeikh Qaradhawi sebenarnya tidak salah ketika menyerukan penyatuan semua doktrin Islam juga ketika ia berseru tentang kerja sama Islam. Ini merupakan ide yang mulia. Kesalahannya ada pada pemahaman politiknya terkait rencana desain di Teheran, Beirut dan Damaskus.
Rencana Khomeini Teheran adalah sebuah proyek yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Itu adalah skema Iran untuk mendominasi wilayah tersebut. Skema tersebut didasarkan pada kebohongan atas revolusi Islam dan merupakan satu-satunya cara untuk menyatu dengan jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Ini adalah cara mereka untuk memperluas wilayah geografis dan mendapatkan pengaruh.
Sejarah Qaradhawi
Kami sudah melewati pertempuran dialektika dengan semua sekutu Iran, Hizbullah dan rezim Suriah. Kami berjuang melawan para intelektual dan pengkhotbah mereka karena kami memahami maksud dari rezim ini, tujuannya dan segala aktivitas mereka.
Kami tahu sebagian besar orang yang mengikuti kelompok jahat ini telah ditipu. Syeikh Al-Qaradhawi sendiri sempat menyakini ilusi-ilusi mereka, seperti halnya banyak ulama lain yang terlibat dalam politik yang memiliki antusiasme besar tapi hanya sedikit mempunyai pemahaman politik.
Syeikh Qaradhawi meninggalkan Mesir lalu pergi ke Qatar sebagai bentuk protesnya atas sikap mantan Presiden Mesir Anwar al-Sadat yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan ‘israel’. Iran adalah sebuah tempat berlabuh bagi orang-orang yang marah dan sangat berantusias mengubah dunia Islam.
Orang-orang yang frustrasi dan merasa terkesan kemudian banyak menulis buku yang memuliakan revolusi Iran. Mereka menyampaikan pidato berisi pujian terhadap pemimpin Iran meskipun politik kotor Iran sudah banyak diketahui sejak Abu al-Hassan Bani Sadr—presiden Iran terpilih pertama yang dekat dengan pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khomeini, melarikan diri.
Rezim baru Iran kemudian mengejar mitra-mitra revolusi mereka dan membunuh banyak dari mereka. Setelah semua ini, bagaimana bisa orang percaya bahwa rezim yang membunuh rakyatnya sendiri di Teheran bisa benar-benar memimpin mereka, membebaskan Palestina dan mengakhiri rezim tirani?
Tidak benar kalau Iran dianggap sebagai misteri yang belum terungkap. Sejak awal Iran adalah sebuah rezim sekte yang jelek. Ketika Salam Rushdie menulis bukunya yang berjudul “The Satanic Verses”, Iran meluncurkan sebuah kampanye melawan Inggris dan mengutuknya dalam sebuah konferensi Islam di Jeddah.
Paradoksnya adalah pewakilan Palestina yang mengetahui kebohongan rezim Khomeini merespons permintaan Iran tersebut dengan mengatakan kalau Inggris bukanlah negara Muslim. Delegasi Iran marah mendengarnya lalu meninggalkan ruangan.
Sayangnya, masih ada rekan Syeikh Qaradhawi yang tertipu, yang masih mendukung Iran. Apakah tidak ada salah satu dari mereka yang berpikir dan membayangkan bagaimana nasib dunia ini di bawah kepemimpinan orang-orang seperti Khomeini atau Qassem Suleimani atau Hassan Nasrallah?
Satu hal yang pasti adalah, suatu hari nanti Iran akan bersekutu dengan Amerika—setan yang paling besar, bekerja sama dengan ‘israel’ dan memaksakan semua rencana-rencananya.*
Penulis general manager stasiun televisi Al Arabiya, wartawan senior. Artikel diambil Al Arabiya|Sahabat Al-Aqsha
Sumber :http://muslimina.blogspot.com/2013/06/pengakuan-syeikh-al-qaradhawi-iran.html
UCAPAN koreksi dari ulama besar Sunni, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi merupakan sebuah perkembangan penting. Pekan lalu, Syeikh Al-Qaradhawi berdiri dan berkata, “Selama bertahun-tahun saya menyerukan agar doktrin-doktrin Islam bisa bersatu. Saya pergi ke Iran saat masa pemerintahan mantan Presiden Iran, Mohammad Khatami. Namun mereka ternyata menipu saya dan banyak orang lainnya seperti saya. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka juga ingin menyatukan doktrin-doktrin yang berbeda.”
Syeikh Al-Qaradhawi mengakui kesalahannya dengan mengatakan, “Saya dulu membela Hasan Nasrallah (pemimpin Hizbullah) dan partainya, partai tirani di depan para ulama Arab Saudi. Tampaknya para ulama Arab Saudi ini lebih dewasa dibandingkan saya.”
Akui Kesalahan
Pengakuan publik dan jujur Qaradawi adalah momentum penting. Ia mengakui dirinya keliru atas semua yang pernah diasumsikannya dan membela Hizbullah serta mengkritik orang lain. Syeikh Al-Qaradhawi berasumsi perjuangan yang telah berlangsung selama 20 tahun terakhir ini didasarkan pada konsep membangun sebuah pemerintahan Islam, partai dan tokoh. Rencana ini dibangun di atas kebohongan besar dan mitos.
Keberanian Syeikh Qaradhawi ini layak diapresiasi karena ia mungkin hanya satu-satunya orang yang mengakui kesalahannya. Padahal dia bisa saja membenarkan sikapnya, namun ia memilih untuk berbicara di depan para pengikutnya dan mengakui kesalahannya.
Syeikh Qaradhawi sebenarnya tidak salah ketika menyerukan penyatuan semua doktrin Islam juga ketika ia berseru tentang kerja sama Islam. Ini merupakan ide yang mulia. Kesalahannya ada pada pemahaman politiknya terkait rencana desain di Teheran, Beirut dan Damaskus.
Rencana Khomeini Teheran adalah sebuah proyek yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Itu adalah skema Iran untuk mendominasi wilayah tersebut. Skema tersebut didasarkan pada kebohongan atas revolusi Islam dan merupakan satu-satunya cara untuk menyatu dengan jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Ini adalah cara mereka untuk memperluas wilayah geografis dan mendapatkan pengaruh.
Sejarah Qaradhawi
Kami sudah melewati pertempuran dialektika dengan semua sekutu Iran, Hizbullah dan rezim Suriah. Kami berjuang melawan para intelektual dan pengkhotbah mereka karena kami memahami maksud dari rezim ini, tujuannya dan segala aktivitas mereka.
Kami tahu sebagian besar orang yang mengikuti kelompok jahat ini telah ditipu. Syeikh Al-Qaradhawi sendiri sempat menyakini ilusi-ilusi mereka, seperti halnya banyak ulama lain yang terlibat dalam politik yang memiliki antusiasme besar tapi hanya sedikit mempunyai pemahaman politik.
Syeikh Qaradhawi meninggalkan Mesir lalu pergi ke Qatar sebagai bentuk protesnya atas sikap mantan Presiden Mesir Anwar al-Sadat yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan ‘israel’. Iran adalah sebuah tempat berlabuh bagi orang-orang yang marah dan sangat berantusias mengubah dunia Islam.
Orang-orang yang frustrasi dan merasa terkesan kemudian banyak menulis buku yang memuliakan revolusi Iran. Mereka menyampaikan pidato berisi pujian terhadap pemimpin Iran meskipun politik kotor Iran sudah banyak diketahui sejak Abu al-Hassan Bani Sadr—presiden Iran terpilih pertama yang dekat dengan pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khomeini, melarikan diri.
Rezim baru Iran kemudian mengejar mitra-mitra revolusi mereka dan membunuh banyak dari mereka. Setelah semua ini, bagaimana bisa orang percaya bahwa rezim yang membunuh rakyatnya sendiri di Teheran bisa benar-benar memimpin mereka, membebaskan Palestina dan mengakhiri rezim tirani?
Tidak benar kalau Iran dianggap sebagai misteri yang belum terungkap. Sejak awal Iran adalah sebuah rezim sekte yang jelek. Ketika Salam Rushdie menulis bukunya yang berjudul “The Satanic Verses”, Iran meluncurkan sebuah kampanye melawan Inggris dan mengutuknya dalam sebuah konferensi Islam di Jeddah.
Paradoksnya adalah pewakilan Palestina yang mengetahui kebohongan rezim Khomeini merespons permintaan Iran tersebut dengan mengatakan kalau Inggris bukanlah negara Muslim. Delegasi Iran marah mendengarnya lalu meninggalkan ruangan.
Sayangnya, masih ada rekan Syeikh Qaradhawi yang tertipu, yang masih mendukung Iran. Apakah tidak ada salah satu dari mereka yang berpikir dan membayangkan bagaimana nasib dunia ini di bawah kepemimpinan orang-orang seperti Khomeini atau Qassem Suleimani atau Hassan Nasrallah?
Satu hal yang pasti adalah, suatu hari nanti Iran akan bersekutu dengan Amerika—setan yang paling besar, bekerja sama dengan ‘israel’ dan memaksakan semua rencana-rencananya.*
Penulis general manager stasiun televisi Al Arabiya, wartawan senior. Artikel diambil Al Arabiya|Sahabat Al-Aqsha
Sumber :http://muslimina.blogspot.com/2013/06/pengakuan-syeikh-al-qaradhawi-iran.html
0 comments:
Posting Komentar