Berkhidmat Untuk Rakyat

Berkhidmat             Untuk            Rakyat

Minggu, 14 April 2013

Ada Apa Dengan Cinta


Ya Allah, di hati ini  hanya ada satu cinta,
kalau aku tidak mengisinya dengan cinta kepada-Mu
maka  kemanakah wajah ini hendak kusembunyikan.



Muqadimah

Cinta itu abstrak, demikian sebagian orang berteori. Ia abstrak karena memang sulit, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin, diungkapkan dengan bahasa kata. Ia ada hanya dalam rasa, yang kemudian menyemburat dalam sejuta realita. Manisnya senyuman, mesranya pandangan, lembutnya sapaan, utuhnya perhatian dan tulusnya pengorbanan,  itulah bahasa cinta.
Oleh karena itu cinta tidak hanya membutuhkan pengakuan; “saya mecintaimu”  semisal, namun ia lebih menuntut bukti dan kenyataan, yang terekspresi dalam totalnya perhatian dan pengorbanan  demi sosok yang dicintainya.
Cinta dan pengorbanan bak dua sisi mata uang yang tidak akan bisa dipisahkan. Keduanya akan selalu hadir pada tempat dan waktu secara bersamaan. Cinta tanpa pengorbanan adalah dusta, pengorbanan tanpa cinta adalah sia-sia.
Demikianlah abstraksi cinta. Ia akan terus  membianglala  memenuhi jagat rasa manusia, tanpa ia mampu menolaknya. Sebagaimana ia pun tidak akan mampu menghadirkan rasa cinta kepada seseorang atau sesuatu, manakala bianglala cinta belum menyelimuti cakrawala rasa.
Ada dan tiadanya cinta akan sangat bergantung pada cuaca rasa  yag menggelayut di langit hati seorang manusia. Kekentalannya pun amat sangat bergantung pada pekatnya mendung rasa yang mengkristal menyelimuti langit hatinya, untuk kemudian merubah diri menjadi titik-titik embun perhatian dan pengorbanan yang menetes-basahi kerontang persada alam kemanusiaan dirinya dan  selainnya.
Kalau memang demikian kenyataannya, lantas bagaimana keniscayaan cinta harus membianglala dalam hati seorang muslim ? 
        
Islam Memandang Cinta.
Ibnu al Qayyim al Jauziyah pernah berkata : “Ketika seseorang jatuh cinta  kepada sesuatu atau kepada sesamanya karena didorong oleh faktor-faktor fisik lahiriyah (kecantikan, kegagahan, kekayaan, keindahan, kemewahan dan lain sebagainya), maka sebenarnya dia tidak sedang jatuh cinta kepada yang dia cintai. Dia sebenarnya sedang jatuh cinta kepada dirinya sendiri, atau lebih tepatnya kepada hawa nafsunya. Orang seperti kita ini, kata beliau, adalah orang yang  tengah mencari keuntungan pribadi atas dalih cinta.
Cinta seperti ini adalah cinta yang nisbi, bahkan palsu. Cinta yang tidak akan mungkin langgeng dalam keabadian. Indahnya taburan bunga-bunga cinta yang semerbak mewangi, dalam sekejap, bisa saja sirna, dan tercampak  ke dalam sampah kehidupan, seiring dengan sirnanya faktor-faktor lahiriyah pendukung cinta itu sendiri. Bahkan tak jarang cinta seperti ini berpotensi untuk mendatangkan konflik, kebencian bahkan permusuhan.
Allah Ta’ala berfirman : “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (az Zukhruf : 67)

Kenapa cinta seperti ini berpotensi melahirkan konflik dan permusuhan ? Karena ia tidak memancar dari sumbernya yang hakiki. Ibarat orang yang mereguk air sungai di bagian hilir yang sudah terkontaminasi oleh limbah kehidupan, maka bukan kesejukan dan kesegaran yang ia dapatkan, melainkan dahaga bahkan racun yang mematikan. Namun ketika air yang diminum adalah air di bagian hulu, atau bahkan langsung dari mata airnya, maka ia bukan hanya menyejukkan dan menyegarkan, namun juga  menyehatkan dan menghidupkan.
Lantas di manakah mata air cinta (hakiki) itu memancar ?
Islam memandang mata air cinta hakiki itu adalah iman yang bersemayam di lubuk hati hamba yang bertaqwa. Darinya cinta akan mengalir suci lagi bening, gemriciknya akan menyenandungkan irama syahdu lagi hening, dan kesejukannya ‘kan membasahi seluruh persada hati yang kering. Bahkan bukan itu saja, keindahan kelak keloknya yang bak untaian manik-manik mutiara putih akan nampak semakin indah saat kebeningan aliran cinta itu bertemu dan menyatu dengan kebeningan aliran cinta dari sumber yang lain. Itulah pertemuan cinta dua hamba yang sama-sama beriman.
Tiada pertemuan yang lebih indah melebihi indahnya pertemuan di antara dua hamba yang sama-sama beriman, karena pertemuan di antara keduanya adalah pertemuan yang  didasarkan pada rasa cinta yang sama, yakni cinta kepada Allah (mahabbatullah), cinta keduanya adalah cinta yang mengalir dari hati yang  bersih.


 Hakikat Mahabbah di Dalam Islam       
Islam menetapkan bahwa tiada sosok yang berhak untuk dicintai karena sosok itu sendiri kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara cinta kepada selain Allah haruslah dilandas-dasarkan kepada semangat mencintai Allah.
Seorang mukmin yang mencintai sesuatu atau seseorang bukan karena cintanya kepada Allah, maka ia telah menduakan Allah di dalam cinta. Seperti seorang mukmin yang mencintai sesuatu karena keindahan, kemewahan dan kebagusannya semata. Atau mencintai seseorang karena kekayaan, kedudukan, kegagahan dan kecantikannya belaka.
Dianggap menduakan Allah, karena seringkali cinta seperti ini mendorong orang lebih berpihak pada yang (dengan y kecil) dia cintai, meskipun itu nyata-nyata bertentangan dengan kehendak Yang (dengan Y besar) juga dia cintai
Karena itu seorang mukmin tidak akan mampu, karena memang tidak akan mungkin, memikul dua cinta pada waktu yang bersamaan, yakni mencintai Allah sekaligus mencinta selain-Nya bukan karenan-Nya.
Berapa banyak diantara kaum mukminin yang tetap bersama “yang dicintainya”, meskipun Allah Ta’ala, Yang juga Dicintainya, memanggil-manggil mereka untuk beramal kebaikan, seperti shalat, shadaqah, shaum, da’wah, jihad dan lain sebagainya.
Pada akhirnya model cinta seperti ini bisa menjerumuskan seseorang ke lembah kehinaan syirik, yakni ketika seseorang mencintai atau menyenangi seseorang atau sesuatu yang dibenci Allah, seperti menyenangi ma’shiyat dan orang yang suka melakukannya.

Allah Ta’ala berfirman :  Dan sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan. Mereka mencintai tandingan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat mencintai Allah.....( al Baqarah : 165 ).

Ibnu ‘Athaillah berkata :
Ketika kamu mencintai sesuatu maka kamu pasti menjadi hamba dari apa yang kamu cintai itu, dan Allah tidak suka bila kamu menjadi hamba bagi sesuatu selain-Nya.

Abu Qasim Al Junaid juga berkata  :
Engkau tak akan mencapai hakikat ubudiyah (penghambaan yang sempurna kepada Allah) selama engkau masih menjadi hamba bagi sesuatu selain-Nya, yakni harta, istri, pangkat dan lain sebagainya.

Dalam ungkapan lain Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan :
 “Barang siapa yang mencintai Allah maka ia akan mencintai siapa saja yang dicintai Allah. Dan barang siapa yang mencintai siapa yang dicintai Allah,  ia akan mencintai apa saja yang dicintai Allah. Dan barang siapa  yang mencintai apa yang dicintai Allah, maka ia akan cinta kepada ketidak-masyhuran.``

Rasulullah SAW juga bersabda  :
 “Kejujuran cinta itu terletak pada tiga hal, yaitu :
1.       Lebih memilih kata-kata   Kekasihnya, ketimbang kata-kata selainnya.
2.       Lebih memilih bermujalasah ( berteman duduk ) dengan Kekasihnya ketimbang dengan selainnya.
3.       Lebih memilih ridha Kekasihnya ketimbang ridha selainnya

Kini jelaslah sudah bagi kita, bahwa cinta seorang mukmin itu hanya untuk Allah. Kalau pun mencintai selain-Nya, maka itu semata-mata karena cintanya kepada-Nya. Dia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang  kalau cinta  tersebut akan memperkukuh cintanya kepada Allah. Kalau tidak, maka dia tidak akan mungkin dipaksa untuk mencintainya.

Menggapai Cinta Kepada Allah.
Hasan al Bashri pernah berungkap :
“Barang siapa yang mengenali Rabb-nya, maka ia pasti akan mencintai-Nya. Karena itu barang siapa yang mencintai selain Allah, tidak dia nisbahkan kepada Allah, maka ini menunjukkan kebodohan dan lemahnya pengenalan (ma’rifah) dia kepada Allah.
Dari ungkapan Hasan al Bishri di atas, kita memahami bahwa cinta kepada Allah itu hanya akan hadir manakala kita telah menghadirkan dua prinsip dalam kehidupan ini, yaitu :
1.     Ma’rifatullah (mengenali Allah) secara utuh di dalam jiwa.
2.     Menyingkirkan seluruh perintangdan penghalang cinta kepada Allah, yakni dunia dengan segala gemerlap uthopianya.
Dunia, dalam pandangan hamba beriman, hanyalah bayangan “keindahan” di dalam air. Ia ada hanya dalam prasangka. Sebab segala sesuatu selain Allah itu pada hakikatnya “tidak ada”, yang “ada” hanyalah Allah.
      
Seorang ulama ahli hikmah pernah berujar : “Keberadaan ciptaan Allah ini seperti sebuah bayangan pohon didalam air, ia tidak akan bisa menghalangi jalan perahu yang melintasinya. Karena itu tidak ada satu benda pun yang bisa menghalangi seorang hamba di dalam berjalan menuju Allah, kecuali kalau ia menyangka bayangan itu sebagai kenyataan yang betul-betul “ada”       
Memang ketika dunia yang “tiada” ini  dianggap “ada”, maka dunia tidak akan pernah sunyi untuk sekedar dipergunakan buat merenung dan berfikir sekalipun. Suaranya  teramat gaduh, berisik, membuat telinga menjadi pekak dan tuli, bahkan gelegarnya bisa merontokkan dinding dan benteng pertahanan iman. Fatamorgananya pun sangat menyilaukan,  membuat perih di mata, sehingga selalu gagal mengais, menemukan dan memungut kebenaran. Jasad pun harus bersimbah peluh ketakutan, kecemasan, kebimbangan dan keputus-asaan.    
Ya Allah jauhkan kami dari tipu daya dunia yang menghalang-halangi kami untuk menuai keindahan-Mu dalam naungan Rahmat dan Ridha-Mu.

Pengaruh Cinta Kepada Allah 
Cinta kepada Allah (Mahabbatullah), sebagaimana pernah diungkapkan oleh Al Muqaddasi dalam Mukhtashar Minhaj al Qashidin, adalah puncak iman (al Ghayah al Qushwa). Di atas puncak itulah kita akan merasakan berjuta keindahan dan kelezatan ruhani, yang tidak bisa digambarkan dan dipahami oleh siapapun kecuali oleh orang yang telah sampai ke sana
Ibarat perahu yang mengarungi samudra, maka Mahabbatullah adalah labuhan iman. Di situlah iman akan melabuhkan dirinya, dan di situ pulalah iman akan mereguk sejuta kenikmatan, kelezatan dan juga keindahan, yang tak akan mungkin dirasakan oleh iman yang belum melabuhkan diri dalam labuhan Mahabbatullah ini  (Ya Allah bimbing hamba-Mu ini untuk selekasnya melabuhkan iman kami dalam labuhan cinta kepada-Mu)
Karena Mahabbatullah ini merupakan al Ghayatul Qushwa, maka sudah menjadi sebuah keniscayaan kalau dia akan menghadirkan nuansa-nuansa indah yang sarat dengan sentuhan-sentuhan samawi, di antaranya :
1.     Kelezatan spiritual yang tiada tara di setiap kali seorang Muslim mewujudkan penghambaan dirinya, khususunya, dalam amaliyah ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat, shaum, hajji, dzikir, tilawah al Qur’an dan lain sebagainya. Baginya ibadah mahdhah itu merupakan media bersua dengan Sang Kekasih.  Saat itulah jiwanya akan terbang ke alam malakut untuk “bercengkerama” dengan-Nya, menyampaikan keluh kesahnya, pengharapannya, kecemasannya dan juga cinta kasihnya serta memahami kehendak-kehendak-Nya atas dirinya. Karena itu ibadah mahdhah, bagi seorang Muslim,   bukanlah sebuah beban,   melainkan  kebutuhan asasi,   yang dengannya kerontang ruhani akan terbasahi, gelisah rindu akan terobati dan kedamaian sukmawi akan termiliki.  
2.     Terjauhkan dari perilaku-perilaku yang tidak disukai oleh Sosok yang dicintai, baik itu ma’hiyat, dosa, perilaku sia-sia dan sejenisnya, bahkan di hatinya akan terhunjam  kebencian kepada semua tersebut.
3.     Selalu mengingat dan menyebut Asma’(Nama) Allah yang penuh dengan Keagungan di setiap amaliyah yaumiyah (aktivitas harian).
4.     Rela dan ridha terhadap semua yang telah  digariskan oleh Allah Ta’ala.
5.     Merindukan perjumpaan “hakiki” dengan Allah Sang Kekasih. Jalan untuk menuju perjumpaan tersebut bernama “maut” (kematian). Karena itu tidak ada peristiwa yang paling dirindukan dalam hidup di dunia ini kecuali peristiwa kematian.
6.     Terajutnya tautan hati yang kokoh dengan sesama yang juga mencitai Allah, yang karenanya akan tercipta ‘alaqah akhawiyah [hubungan persaudaraan] yang indah.
7.     Menimbulkan rasa kasih terhadap sesama yang belum mampu mencintai Allah.


Khatimah.
Allah Ta’ala berfirman :       Katakanlah : “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah, Rasul-Nya dan dari berjihad di Jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (‘adzab). Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. (al Taubah : 24)

Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia akan merasakan lezatnya iman, yaitu : lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada yang lain, mencintai seseorang hanya karena Allah dan benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci apabila ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari)
“Cintailah Allah, karena Dia telah mencurahkan nikmat-nikmat-Nya kepadamu, dan cintailah aku karena cintamu kepada Allah, dan cintailah keluargaku, karena cintamu kepadaku.” (HR. Turmudzi).

 “Allah Ta’ala berfirman : “Senantiasalah hamba-Ku beramal untuk mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya, maka jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memukul dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan, dan jika ia meminta kepda-Ku pasti Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti aku memberi perlindungan kepadanya.” (HR. Bukhari).
Termasuk do’a Nabi Dawud AS adalah beliau membaca :
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bisa mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan memohon amal perbuatan yang bisa menyebabkan aku mencintai-Mu. Ya  Allah jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku kepada diriku, keluargaku dan melebih cintaku kepadai air yang dingin.” (HR. Turmudzi).
     
“Ya Allah, malam ini kami kembali hadir dengan setumpuk dosa yang kembali kami bawa kehadapan-Mu. Entah mengapa ya Allah, dosa demi dosa, ma`shiyat demi ma`shiyat ini selalu saja menghiasi lembar – lembar kehidupan ini, padahal kami sudah berusaha untuk menghindarinya bahkan menghapuskannya. Namun selalu saja kami tidak berdaya `tuk menolaknya. Kesemuanya ini, ya Allah, merupakan ujud nyata betapa sangat lemahnya iman kami, betapa sangat redupnya cahaya ilmu kami, dan betapa kotornya jiwa kami.

Ya Allah, oleh karena itu kami merasa Kau tak lagi berkenan dengan simpuh kami ini. Kami menyadari kalau Kau mungkin tidak lagi percaya dengan ibaku ini. Namun kami meyakini, kalau Rahmat dan Ampunan-Mu itu seluas langit dan bumi. Dari itu ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan kami, baik yang kamu lakukan secara sengaja ataupun tidak, yang kami ketahui ataupun tidak. Kalau Kau mengampuni dosa dan kesalahan kami, itu semua kami yakini, karena Kau adalah Dzat Yang Pengasih lagi Pengampun. Namun bilamana Kau menolaknya, kepada siapa lagi kami harus meminta ampun.
Ya Allah, izinkanlah pula untuk kesekian kalinya, kami mengadukan seluruh keluh kesah kami, seluruh pinta harap kami kepada-Mu. Kami ingin sepenuhnya hidup dalam rengkuhan kebersamaan-Mu, kami ingin cahaya-Mu ada dalam seluruh relung hati kami, dan kami ingin hati kami adalah cahaya-Mu. Karena itu pendarkanlah Cahaya-Mu ya Allah, dan singkapkanlah tirai penutup yang menghalangi Cahaya-Mu `tuk singgah bersemayam dalam lubuk hati kami.
Ya Allah, kami sangat berharap, kiranya dengan Cahaya-Mu ini kami punya suluh penerjang jalan. Hingga kami tidak tersesat di perjalanan. Hingga kami bisa sampai, di stasiun terakhir perjalanan hidup kami nanti, dengan selamat, seraya memeluk erat Ridha-Mu, dan….., menikmati keindahan Wajah-Mu.
Ya Allah, kabulkan seluruh pinta kami ini, Aamiin….”

0 comments:

Posting Komentar

***

***

Entri Populer

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by DPC PKS Jetis