Ya Allah, di hati ini hanya ada satu cinta,
kalau aku tidak mengisinya dengan cinta
kepada-Mu
maka
kemanakah wajah ini hendak kusembunyikan.
Muqadimah
Cinta
itu abstrak, demikian sebagian orang berteori. Ia abstrak karena memang sulit,
kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin, diungkapkan dengan bahasa kata. Ia
ada hanya dalam rasa, yang kemudian menyemburat dalam sejuta realita. Manisnya
senyuman, mesranya pandangan, lembutnya sapaan, utuhnya perhatian dan tulusnya
pengorbanan, itulah bahasa cinta.
Oleh
karena itu cinta tidak hanya membutuhkan pengakuan; “saya mecintaimu” semisal, namun ia lebih menuntut bukti dan
kenyataan, yang terekspresi dalam totalnya perhatian dan pengorbanan demi sosok yang dicintainya.
Cinta
dan pengorbanan bak dua sisi mata uang yang tidak akan bisa dipisahkan.
Keduanya akan selalu hadir pada tempat dan waktu secara bersamaan. Cinta tanpa
pengorbanan adalah dusta, pengorbanan tanpa cinta adalah sia-sia.
Demikianlah
abstraksi cinta. Ia akan terus membianglala memenuhi jagat rasa manusia, tanpa ia mampu
menolaknya. Sebagaimana ia pun tidak akan mampu menghadirkan rasa cinta kepada
seseorang atau sesuatu, manakala bianglala cinta belum menyelimuti cakrawala
rasa.
Ada dan tiadanya
cinta akan sangat bergantung pada cuaca rasa
yag menggelayut di langit hati seorang manusia. Kekentalannya pun amat
sangat bergantung pada pekatnya mendung rasa yang mengkristal menyelimuti
langit hatinya, untuk kemudian merubah diri menjadi titik-titik embun perhatian
dan pengorbanan yang menetes-basahi kerontang persada alam kemanusiaan dirinya
dan selainnya.
Kalau
memang demikian kenyataannya, lantas bagaimana keniscayaan cinta harus
membianglala dalam hati seorang muslim ?
Islam Memandang
Cinta.
Ibnu
al Qayyim al Jauziyah pernah berkata : “Ketika seseorang jatuh cinta kepada sesuatu atau kepada sesamanya karena
didorong oleh faktor-faktor fisik lahiriyah (kecantikan, kegagahan, kekayaan,
keindahan, kemewahan dan lain sebagainya), maka sebenarnya dia tidak sedang jatuh
cinta kepada yang dia cintai. Dia sebenarnya sedang jatuh cinta kepada dirinya
sendiri, atau lebih tepatnya kepada hawa nafsunya. Orang seperti kita ini, kata
beliau, adalah orang yang tengah mencari
keuntungan pribadi atas dalih cinta.
Cinta
seperti ini adalah cinta yang nisbi, bahkan palsu. Cinta yang tidak akan
mungkin langgeng dalam keabadian. Indahnya taburan bunga-bunga cinta yang
semerbak mewangi, dalam sekejap, bisa saja sirna, dan tercampak ke dalam sampah kehidupan, seiring dengan
sirnanya faktor-faktor lahiriyah pendukung cinta itu sendiri. Bahkan tak jarang
cinta seperti ini berpotensi untuk mendatangkan konflik, kebencian bahkan
permusuhan.
Allah
Ta’ala berfirman : “Teman-teman akrab
pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali
orang-orang yang bertaqwa.” (az Zukhruf : 67)
Kenapa
cinta seperti ini berpotensi melahirkan konflik dan permusuhan ? Karena ia
tidak memancar dari sumbernya yang hakiki. Ibarat orang yang mereguk air sungai
di bagian hilir yang sudah terkontaminasi oleh limbah kehidupan, maka bukan
kesejukan dan kesegaran yang ia dapatkan, melainkan dahaga bahkan racun yang
mematikan. Namun ketika air yang diminum adalah air di bagian hulu, atau bahkan
langsung dari mata airnya, maka ia bukan hanya menyejukkan dan menyegarkan,
namun juga menyehatkan dan menghidupkan.
Lantas
di manakah mata air cinta (hakiki) itu memancar ?
Islam
memandang mata air cinta hakiki itu adalah iman yang bersemayam di lubuk hati
hamba yang bertaqwa. Darinya cinta akan mengalir suci lagi bening, gemriciknya
akan menyenandungkan irama syahdu lagi hening, dan kesejukannya ‘kan membasahi
seluruh persada hati yang kering. Bahkan bukan itu saja, keindahan kelak
keloknya yang bak untaian manik-manik mutiara putih akan nampak semakin
indah saat kebeningan aliran cinta itu bertemu dan menyatu dengan kebeningan
aliran cinta dari sumber yang lain. Itulah pertemuan cinta dua hamba yang
sama-sama beriman.
Tiada
pertemuan yang lebih indah melebihi indahnya pertemuan di antara dua hamba yang
sama-sama beriman, karena pertemuan di antara keduanya adalah pertemuan
yang didasarkan pada rasa cinta yang
sama, yakni cinta kepada Allah (mahabbatullah),
cinta keduanya adalah cinta yang mengalir dari hati yang bersih.
Hakikat Mahabbah di Dalam Islam
Islam
menetapkan bahwa tiada sosok yang berhak untuk dicintai karena sosok itu
sendiri kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara cinta kepada selain
Allah haruslah dilandas-dasarkan kepada semangat mencintai Allah.
Seorang
mukmin yang mencintai sesuatu atau seseorang bukan karena cintanya kepada
Allah, maka ia telah menduakan Allah di dalam cinta. Seperti seorang mukmin
yang mencintai sesuatu karena keindahan, kemewahan dan kebagusannya semata.
Atau mencintai seseorang karena kekayaan, kedudukan, kegagahan dan
kecantikannya belaka.
Dianggap
menduakan Allah, karena seringkali cinta seperti ini mendorong orang lebih
berpihak pada yang (dengan y kecil) dia cintai, meskipun itu nyata-nyata
bertentangan dengan kehendak Yang (dengan Y besar) juga dia cintai
Karena
itu seorang mukmin tidak akan mampu, karena memang tidak akan mungkin, memikul
dua cinta pada waktu yang bersamaan, yakni mencintai Allah sekaligus mencinta
selain-Nya bukan karenan-Nya.
Berapa
banyak diantara kaum mukminin yang tetap bersama “yang dicintainya”, meskipun
Allah Ta’ala, Yang juga Dicintainya, memanggil-manggil mereka untuk beramal
kebaikan, seperti shalat, shadaqah, shaum, da’wah, jihad dan lain sebagainya.
Pada
akhirnya model cinta seperti ini bisa menjerumuskan seseorang ke lembah
kehinaan syirik, yakni ketika seseorang mencintai atau menyenangi
seseorang atau sesuatu yang dibenci Allah, seperti menyenangi ma’shiyat dan
orang yang suka melakukannya.
Allah
Ta’ala berfirman : Dan sebagian manusia ada yang menjadikan
selain Allah sebagai tandingan. Mereka mencintai tandingan itu sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat mencintai
Allah.....( al Baqarah : 165 ).
Ibnu
‘Athaillah berkata :
Ketika
kamu mencintai sesuatu maka kamu pasti menjadi hamba dari apa yang kamu cintai
itu, dan Allah tidak suka bila kamu menjadi hamba bagi sesuatu selain-Nya.
Abu
Qasim Al Junaid juga berkata :
Engkau
tak akan mencapai hakikat ubudiyah (penghambaan yang sempurna kepada
Allah) selama engkau masih menjadi hamba bagi sesuatu selain-Nya, yakni harta,
istri, pangkat dan lain sebagainya.
Dalam
ungkapan lain Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan :
“Barang siapa yang mencintai Allah maka ia
akan mencintai siapa saja yang dicintai Allah. Dan barang siapa yang mencintai
siapa yang dicintai Allah, ia akan
mencintai apa saja yang dicintai Allah. Dan barang siapa yang mencintai apa yang dicintai Allah, maka
ia akan cinta kepada ketidak-masyhuran.``
Rasulullah
SAW juga bersabda :
“Kejujuran cinta itu terletak pada tiga hal,
yaitu :
1. Lebih
memilih kata-kata Kekasihnya, ketimbang
kata-kata selainnya.
2. Lebih
memilih bermujalasah ( berteman duduk ) dengan Kekasihnya ketimbang
dengan selainnya.
3. Lebih
memilih ridha Kekasihnya ketimbang ridha selainnya
Kini
jelaslah sudah bagi kita, bahwa cinta seorang mukmin itu hanya untuk Allah.
Kalau pun mencintai selain-Nya, maka itu semata-mata karena cintanya
kepada-Nya. Dia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang kalau cinta
tersebut akan memperkukuh cintanya kepada Allah. Kalau tidak, maka dia
tidak akan mungkin dipaksa untuk mencintainya.
Menggapai
Cinta Kepada Allah.
Hasan
al Bashri pernah berungkap :
“Barang
siapa yang mengenali Rabb-nya, maka ia pasti akan mencintai-Nya. Karena itu
barang siapa yang mencintai selain Allah, tidak dia nisbahkan kepada Allah,
maka ini menunjukkan kebodohan dan lemahnya pengenalan (ma’rifah) dia
kepada Allah.
Dari
ungkapan Hasan al Bishri di atas, kita memahami bahwa cinta kepada Allah itu
hanya akan hadir manakala kita telah menghadirkan dua prinsip dalam kehidupan
ini, yaitu :
1. Ma’rifatullah
(mengenali Allah) secara utuh di dalam jiwa.
2. Menyingkirkan
seluruh perintangdan penghalang cinta kepada Allah, yakni dunia dengan segala
gemerlap uthopianya.
Dunia,
dalam pandangan hamba beriman, hanyalah bayangan “keindahan” di dalam air. Ia
ada hanya dalam prasangka. Sebab segala sesuatu selain Allah itu pada
hakikatnya “tidak ada”, yang “ada” hanyalah Allah.
Seorang
ulama ahli hikmah pernah berujar : “Keberadaan ciptaan Allah ini seperti sebuah
bayangan pohon didalam air, ia tidak akan bisa menghalangi jalan perahu yang
melintasinya. Karena itu tidak ada satu benda pun yang bisa menghalangi seorang
hamba di dalam berjalan menuju Allah, kecuali kalau ia menyangka bayangan itu
sebagai kenyataan yang betul-betul “ada”
Memang
ketika dunia yang “tiada” ini dianggap
“ada”, maka dunia tidak akan pernah sunyi untuk sekedar dipergunakan buat
merenung dan berfikir sekalipun. Suaranya
teramat gaduh, berisik, membuat telinga menjadi pekak dan tuli, bahkan
gelegarnya bisa merontokkan dinding dan benteng pertahanan iman. Fatamorgananya
pun sangat menyilaukan, membuat perih di
mata, sehingga selalu gagal mengais, menemukan dan memungut kebenaran. Jasad
pun harus bersimbah peluh ketakutan, kecemasan, kebimbangan dan
keputus-asaan.
Ya Allah jauhkan kami dari tipu daya
dunia yang menghalang-halangi kami untuk menuai keindahan-Mu dalam naungan
Rahmat dan Ridha-Mu.
Pengaruh Cinta Kepada Allah
Cinta
kepada Allah (Mahabbatullah), sebagaimana pernah diungkapkan oleh Al
Muqaddasi dalam Mukhtashar Minhaj al Qashidin, adalah puncak iman (al Ghayah al Qushwa). Di atas
puncak itulah kita akan merasakan berjuta keindahan dan kelezatan ruhani, yang
tidak bisa digambarkan dan dipahami oleh siapapun kecuali oleh orang yang telah
sampai ke sana
Ibarat
perahu yang mengarungi samudra, maka Mahabbatullah adalah labuhan iman. Di
situlah iman akan melabuhkan dirinya, dan di situ pulalah iman akan mereguk
sejuta kenikmatan, kelezatan dan juga keindahan, yang tak akan mungkin dirasakan
oleh iman yang belum melabuhkan diri dalam labuhan Mahabbatullah ini (Ya
Allah bimbing hamba-Mu ini untuk selekasnya melabuhkan iman kami dalam labuhan
cinta kepada-Mu)
Karena
Mahabbatullah ini merupakan al Ghayatul Qushwa, maka sudah menjadi sebuah keniscayaan
kalau dia akan menghadirkan nuansa-nuansa indah yang sarat dengan
sentuhan-sentuhan samawi, di antaranya :
1.
Kelezatan spiritual yang tiada tara di setiap
kali seorang Muslim mewujudkan penghambaan dirinya, khususunya, dalam amaliyah
ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat, shaum, hajji, dzikir, tilawah al Qur’an
dan lain sebagainya. Baginya ibadah mahdhah itu merupakan media bersua dengan
Sang Kekasih. Saat itulah jiwanya akan
terbang ke alam malakut untuk “bercengkerama” dengan-Nya, menyampaikan keluh
kesahnya, pengharapannya, kecemasannya dan juga cinta kasihnya serta memahami
kehendak-kehendak-Nya atas dirinya. Karena itu ibadah mahdhah, bagi seorang
Muslim, bukanlah sebuah beban, melainkan
kebutuhan asasi, yang dengannya
kerontang ruhani akan terbasahi, gelisah rindu akan terobati dan kedamaian
sukmawi akan termiliki.
2. Terjauhkan
dari perilaku-perilaku yang tidak disukai oleh Sosok yang dicintai, baik itu
ma’hiyat, dosa, perilaku sia-sia dan sejenisnya, bahkan di hatinya akan
terhunjam kebencian kepada semua
tersebut.
3. Selalu
mengingat dan menyebut Asma’(Nama) Allah yang penuh dengan Keagungan di setiap amaliyah yaumiyah (aktivitas
harian).
4.
Rela dan ridha terhadap semua yang telah digariskan oleh Allah Ta’ala.
5.
Merindukan perjumpaan “hakiki” dengan Allah
Sang Kekasih. Jalan untuk menuju perjumpaan tersebut bernama “maut” (kematian).
Karena itu tidak ada peristiwa yang paling dirindukan dalam hidup di dunia ini
kecuali peristiwa kematian.
6. Terajutnya
tautan hati yang kokoh dengan sesama yang juga mencitai Allah, yang karenanya
akan tercipta ‘alaqah akhawiyah
[hubungan persaudaraan] yang indah.
7.
Menimbulkan rasa kasih terhadap sesama yang
belum mampu mencintai Allah.
Khatimah.
Allah
Ta’ala berfirman : Katakanlah :
“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum, keluarga,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya
dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada
Allah, Rasul-Nya dan dari berjihad di Jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya (‘adzab). Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasiq. (al Taubah : 24)
Rasulullah
SAW bersabda :
“Tiga
perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia akan merasakan lezatnya
iman, yaitu : lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada yang lain,
mencintai seseorang hanya karena Allah dan benci kembali kepada kekafiran
sebagaimana ia benci apabila ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari)
“Cintailah
Allah, karena Dia telah mencurahkan nikmat-nikmat-Nya kepadamu, dan cintailah
aku karena cintamu kepada Allah, dan cintailah keluargaku, karena cintamu
kepadaku.” (HR. Turmudzi).
“Allah Ta’ala berfirman : “Senantiasalah
hamba-Ku beramal untuk mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah,
sehingga Aku mencintainya, maka jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia
gunakan untuk mendengar dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memukul dan sebagai kakinya
yang ia gunakan untuk berjalan, dan jika ia meminta kepda-Ku pasti Aku
memberinya, dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti aku memberi
perlindungan kepadanya.” (HR. Bukhari).
Termasuk
do’a Nabi Dawud AS adalah beliau membaca :
“Ya
Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bisa mencintai-Mu dan mencintai
orang-orang yang mencintai-Mu dan memohon amal perbuatan yang bisa menyebabkan
aku mencintai-Mu. Ya Allah jadikanlah
cintaku kepada-Mu melebihi cintaku kepada diriku, keluargaku dan melebih
cintaku kepadai air yang dingin.” (HR. Turmudzi).
“Ya
Allah, malam ini kami kembali hadir dengan setumpuk dosa yang kembali kami bawa
kehadapan-Mu. Entah mengapa ya Allah, dosa demi dosa, ma`shiyat demi ma`shiyat
ini selalu saja menghiasi lembar – lembar kehidupan ini, padahal kami sudah
berusaha untuk menghindarinya bahkan menghapuskannya. Namun selalu saja kami
tidak berdaya `tuk menolaknya. Kesemuanya ini, ya Allah, merupakan ujud nyata
betapa sangat lemahnya iman kami, betapa sangat redupnya cahaya ilmu kami, dan
betapa kotornya jiwa kami.
Ya
Allah, oleh karena itu kami merasa Kau tak lagi berkenan dengan simpuh kami
ini. Kami menyadari kalau Kau mungkin tidak lagi percaya dengan ibaku ini.
Namun kami meyakini, kalau Rahmat dan Ampunan-Mu itu seluas langit dan bumi.
Dari itu ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan kami, baik yang kamu
lakukan secara sengaja ataupun tidak, yang kami ketahui ataupun tidak. Kalau
Kau mengampuni dosa dan kesalahan kami, itu semua kami yakini, karena Kau
adalah Dzat Yang Pengasih lagi Pengampun. Namun bilamana Kau menolaknya, kepada
siapa lagi kami harus meminta ampun.
Ya
Allah, izinkanlah pula untuk kesekian kalinya, kami mengadukan seluruh keluh
kesah kami, seluruh pinta harap kami kepada-Mu. Kami ingin sepenuhnya hidup dalam
rengkuhan kebersamaan-Mu, kami ingin cahaya-Mu ada dalam seluruh relung hati
kami, dan kami ingin hati kami adalah cahaya-Mu. Karena itu pendarkanlah
Cahaya-Mu ya Allah, dan singkapkanlah tirai penutup yang menghalangi Cahaya-Mu
`tuk singgah bersemayam dalam lubuk hati kami.
Ya
Allah, kami sangat berharap, kiranya dengan Cahaya-Mu ini kami punya suluh
penerjang jalan. Hingga kami tidak tersesat di perjalanan. Hingga kami bisa
sampai, di stasiun terakhir perjalanan hidup kami nanti, dengan selamat, seraya
memeluk erat Ridha-Mu, dan….., menikmati keindahan Wajah-Mu.
Ya
Allah, kabulkan seluruh pinta kami ini, Aamiin….”
0 comments:
Posting Komentar