Berkhidmat Untuk Rakyat

Berkhidmat             Untuk            Rakyat

Sabtu, 08 Juni 2013

Jilbab di Antara Kebenaran dan Ketakutan

Oleh Asma Nadia
Hingga sekolah menengah pertama (SMP), saya selalu meraih peringkat satu di kelas. Prestasi yang kemudian mengantarkan saya ke SMA terbaik di Jakarta saat itu.

Setelah berseragam putih abu-abu, alhamdulillah prestasi saya masih baik. Satu-satunya perbedaan adalah saya tergerak untuk berjilbab ketika belum satu siswi pun berjilbab di sekolah, kecuali kakak kelas tiga yang terpaksa melepaskannya ketika sedang belajar di kelas.

Keputusan berjilbab ini kemudian berkonsekuensi angka-angka buruk. Belum pernah seumur hidup saya memperoleh nilai merah di rapor. Di bangku SMA saya mendapat bukan sekadar lima, tapi nilai empat untuk pelajaran olahraga, karena saya menolak melepas jilbab dan mengenakan pakaian olahraga berupa kaus tangan pendek dan celana selutut.

Tidak hanya nilai merah, saya pun dipanggil berkali-kali ke kantor wakil kepala sekolah. Beliau memberi peringatan keras sambil menunjukkan gambar seragam yang seharusnya saya kenakan. Beberapa guru pun menegur bahkan ada yang menarik-narik jilbab saya di hadapan teman sekelas, sambil mengatakan saya tidak nasionalis.

Saat itu saya benar-benar tidak habis pikir. Pertama, seingat saya kemerdekaan bangsa ini banyak diperjuangkan oleh umat Islam. Kedua, di dalam konstitusi tegas dinyatakan bahwa kebebasan beragama dilindungi oleh negara. Dalam Pancasila jelas, Ketuhanan yang Maha Esa, bahkan menduduki urutan pertama dari lima sila. Dan terakhir, tidak ada yang diganggu dan tidak ada yang dirugikan ketika seorang Muslimah berjilbab.

Jadi, atas alasan apakah keinginan saya untuk menutup aurat dilarang? Ada rasa sedih dan tidak mengerti. Selama kurun waktu itu, uniknya jumlah pelajar yang mengenakan jilbab kemudian malah bertambah. Puncak pelarangan, pihak sekolah memutuskan akan mengeluarkan saya dan seluruh siswi berkerudung dari sekolah.

Di sekolah lain di Jakarta, pada saat yang sama, sejumlah pelajar Muslimah pun mendapatkan diskriminasi serupa. Ironis sekaligus memprihatinkan, institusi pendidikan yang seharusnya menghargai nilai-nilai keagamaan dan moral justru bersikap sebaliknya.

Kalaupun kemudian saya bisa melanjutkan pendidikan tanpa pindah, bukan karena sekolah mengubah pendirian. Melainkan disebabkan insiden kebakaran di sekolah yang dipicu oleh perkelahian dengan pelajar dari sekolah kejuruan yang terletak persis di samping sekolah kami. Seluruh pihak larut dalam kesibukan mengatasi kondisi sekolah yang terbakar. Juga upaya mendamaikan para pelajar yang bertikai.

Mendadak masalah jilbab terlihat kecil hingga akhirnya saya bisa meneruskan belajar dengan lebih tenang. Di tahun terakhir bahkan mempersembahkan piala setinggi satu meter, setelah menjadi salah satu wakil sekolah pada kompetisi biologi tingkat DKI dan memenangkan juara pertama.

Setelah reformasi, saya mengira kisah tersebut adalah masa lalu. Tetapi, berita akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perjuangan jilbab masih berlangsung. Merebak kabar institusi kepolisian konon melarang aparatnya di lapangan untuk mengenakan jilbab. Jika ini benar, saya mencoba memahami mengapa. Kalau alasannya tuntutan kerja, bagaimana dengan polisi dan tentara wanita di Aceh yang bisa menjalankan tugas dengan berjilbab.

Berita lain menyebut pemerintah daerah di salah satu provinsi yang melarang staf pemda mengenakan jilbab. Pelarangan yang tidak hanya melanggar asasi, tetapi lagi-lagi menunjukkan kegagalan anak bangsa untuk menghargai sejarah. Pemahaman bahwa Islam --tanpa menafikan perjuangan dari berbagai pemeluk agama lain di Tanah Air-- adalah salah satu alasan utama bangsa ini berjuang membebaskan diri dari penjajahan.

Jilbab adalah persoalan hak asasi. Melarangnya berarti melanggar hak asasi seseorang. Sikap seperti ini pada akhirnya bisa jadi akan mengusik berbagai pihak yang sebenarnya ingin menjalankan Islam dengan damai. Pun jangan sampai hal-hal yang sebenarnya baik, hanya karena sikap sentimen atau ketakutan yang tak berdasar malah berubah menjadi sesuatu yang kontraproduktif, bahkan melawan arus kebenaran yang sebenarnya ingin diperjuangkan bersama.

Saatnya, semua unsur masyarakat bersikap dewasa. Mahasiswi yang dilecehkan dosen karena berjilbab, perawat atau bidan berkerudung yang dilarang bahkan diancam pecat, karyawan Muslimah yang mendapat teguran dari bank atau tempat mereka bekerja karena berkerudung, stasiun televisi yang mendiskriminasikan penyiar mereka yang berjilbab, termasuk polwan dan tentara Muslimah yang tak bisa bertugas dengan jilbab, jika ini benar masih terjadi, maka Indonesia masih berkutat di pusaran yang sama dan tidak bergerak maju.

Sebab, pelarangan jilbab adalah produk masa lalu yang harus dikubur dalam-dalam, yang usianya bahkan lebih tua dari yang saya alami, 27 tahun lalu.


Sumber: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/06/07/mo0x4h-jilbab-di-antara-kebenaran-dan-ketakutan

0 comments:

Posting Komentar

***

***

Entri Populer

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by DPC PKS Jetis